BAB I
PENDAHULUAN
Peran dapat diartikan
sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh individu sesuai dengan status
sosialnya. Jika ia seorang perawat, peran yang diharapkannya adalah peran
sebagai perawat, bukan sebagai dokter. Selain itu peran yang dijalani seseorang
juga bergantung pada status kesehatannya. Peran yang dijalani sewaktu sehat
tentu berbeda dengan peran yang dijalani individu.
Kita seringkali
mendengar kata dokter dan kita hanya tahu bahwa dokter itu adalah orang
yang suka memeriksa pasien dan membuatkan resep untuk pengobatan pasien.
Menurut KBBI, dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal
penyakit dan pengobatannya. Sedangkan perawat berasal dari kata rawat yang
berarti jaga, urus, pelihara. Pada dasarnya kita semua merupakan perawat baik
bagi diri sendiri dan orang lain, bedanya mereka perawat memiliki pendidikan
khusus dalam hal merawat, terutaama merawat orang yang sakit.
Berbanding terbalik
dengan definisi sehat, sakit adalah keadaan manusia yang tidak sejahtera baik
secara jasmani, rohani, ekonomi, maupun sosial. Penyakit adalah penyebab
terjadinya keadaan sesorang menjadi tidak nyaman baik berupa virus, bakteri
bahkan akibat pola hidup manusia itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Peran
Dokter
Di masyarakat, dokter
sangatlah besar pengaruhnya untuk meningkatkan kwalitas kesehatan terutama
dalam penyembuhan sebuah penyakit. Berhasilnya upaya kesehatan menyebabkan
munculnya pola penyakit yang berbeda sehingga peran dokter dalam berbagai upaya
pelayanan kesehatan pun berubah. Dalam upaya kuratif,dokter masa kini harus
siap untuk menolong pasien, bukan saja yang berpenyakit akut tetapi juga yang berpenyakit
kronis,penyakit degeneratif dan harus siap membantu kliennya agar dapat hidup
sehat dalam kondisi lingkungan yang lebih rumit masa sekarang ini. Untuk itu ia
harus mengenal kepribadian dan lingkungan pasiennya. Upaya prevensi pun
bergeser dari orientasi kesehatan masyarakat lebih kearah kesehatan perorangan
(private health).
Sosok seorang dokter
pun dalam melaksanakan kegiatannya langsung berhadapan dengan pasien. Maka dari
itu, dalam proses teurapetik kita mesti tahu hubungan hukum antara dokter dan
pasien, diantaranya :
a. Pola
Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara
dokter dengan pasien telah terjadi sejak dahulu (jaman Yunani kuno), dokter
sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya.
Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas
kepercayaan dari pasien terhadap dokter yang disebut dengan transaksi
terapeutik. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson digambarkan seperti
halnya hubungan antara pendeta dengan jemaah yang sedang mengutarakan
perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri,
membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.
Hubungan hukum antara
dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik
seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best”
yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik.
Dalam hubungan ini
kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih
tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak
tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di
tangan dokter.
Hubungan hukum timbul
bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya
membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa
ia merasa sakit, dan dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu
menolongnya, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter
dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada
pasien.
Sebaliknya, dokter
berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan
mengupayakan untuk bertindak sebagai ‘bapak yang baik’, yang secara cermat,
hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini,
dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Pola hubungan vertikal
yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang
melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal
pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif,
apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan
penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi
otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar
manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal
paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.
Hubungan ini melahirkan
aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat“inspanningsverbintenis” yang
merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang
berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau
kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan
ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan
pasien.
b. Saat
Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum
kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat
pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang,
tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan
(oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan
sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima
pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya
dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan
dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.
c. Sahnya
Transaksi Teurapetik
Mengenai syarat sahnya
transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat)
syarat sebagai berikut:
Ø Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)
Secara yuridis, yang
dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau
penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Saat terjadinya
perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada
saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara
pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik
yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama
maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya
tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak
pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
Ø Kecakapan
untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
Secara yuridis, yang
dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang
untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini
didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1329 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di
dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang
dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di
bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat
perjanjian tertentu.
Di dalam transaksi terapeutik,
pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk
bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan
persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan
persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
Di Indonesia ada berbagai peraturan yang menyebutkan
batasan usia dewasa diantaranya :
- - Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan tidak / belum menikah. Berarti dewasa ialah telah
berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun belum berusia 21 tahun, bila
perkawinannya pecah sebelum umur 21 tahun, tidak kembali dan keadaan belum
dewasa.
- - Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang
belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Ayat (2),
menyatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kemudian pasal 50 ayat (1), menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali. Ayat (2), menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak
maupun harta bendanya.
- - Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV yang
disebarluaskan berdasarkan instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 tentang Pemeliharaan Anak pasal 98 tercantum :
· - Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri / dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (ayat (1)).
· - Orang tua yang mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (ayat (2)).
· - Pengadilan agama dapat menunjuk salah
seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua
orang tuanya tidak mampu (ayat (3)).
Dari berbagai peraturan
tersebut di atas ternyata ada beberapa peraturan yang menyebutkan usia 21 tahun
sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa yang ditentukan
dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.Kes/Per/IX/1989, yang ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yan.Med 21 April
1999 yang menyatakan bahwa pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
Ø Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)
Hal tertentu ini yang
dapat dihubungkan dengan obyek perjanjian / transaksi terapeutik ialah upaya
penyembuhan. Oleh karenanya obyeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang
diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin
oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung
kepada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya,
tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien
terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran pasien dalam
melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
Ø Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak)
Di dalam Pasal 1337
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan
atau ketertiban umum.
Ø Informed Consent
Persetujuan tindakan
medis (informed consent) mencakup tentang informasi dan persetujuan, yaitu
persetujuan yang diberikan setelah yang bersangkutan mendapat informasi
terlebih dahulu atau dapat disebut sebagai persetujuan berdasarkan informasi.
Berdasarkan Permenkes 585/1989 dikatakan bahwainformed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Pada hakekatnya,
hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk
juga hubungan antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Oleh karena
hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka adanya
komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu
sangat penting. Hasil penelitian King9 membuktikan bahwa essensi
dari hubungan antara dokter dan pasien terletak dalam wawancara pengobatan.
Pada wawancara tersebut para dokter diharapkan untuk secara lengkap memberikan
informasi kepada pasien mengenai bentuk tindakan yang akan atau perlu
dilaksanakan dan juga risikonya.
Bahasa kedokteran
banyak menggunakan istilah asing yang tidak dapat dimengerti oleh orang
yang awam dalam bidang kedokteran. Pemberian informasi dengan menggunakan
bahasa kedokteran, tidak akan membawa hasil apa-apa, malah akan membingungkan
pasien. Oleh karena itu seyogyanya informasi yang diberikan oleh dokter
terhadap pasiennya disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti
oleh pasien.
Setelah informasi
diberikan, maka diharapkan adanya persetujuan dari pasien, dalam arti ijin dari
pasien untuk dilaksanakan tindakan medis. Pasien mempunyai hak penuh untuk
menerima atau menolak pengobatan untuk dirinya, ini merupakan hak asasi pasien
yang meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi.
Oleh karena itu sebelum
pasien memberikan persetujuannya diperlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter
serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan), 2) Deskripsi
mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak dinginkan yang
mungkin timbul, 3) Diskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat
diperoleh pasien, 4) Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur
berlangsung, 5) Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali
persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter
dan lembaganya. 6) Prognosis mengenai kondisi medis pasien bila ia menolak
tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut.
Mengenai
bentuk informed consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam.
Secara tegas dapat disampaikan dengan kata-kata langsung baik secara lisan
ataupun tertulis dan informed consent yang dilakukan secara diam-diam
yaitu tersirat dari anggukan kepala ataupun perbuatan yang mensiratkan tanda
setuju.
Informed
consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko,
misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Sedangkan
untuk tindakan medis yang mengandung risiko misalnya pembedahan, makainformed
consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien.
Yang paling aman bagi
dokter kalau persetujuan dinyatakan secara tertulis, karena dokumen tersebut
dapat dijadikan bukti jika suatu saat muncul sengketa. Cara yang terakhir ini
memang tidak praktis sehingga kebanyakan dokter hanya menggunakan cara ini jika
tindakan medis yang akan dilakukannya mengandung risiko tinggi atau menimbulkan
akibat besar yang tidak menyenangkan.
Di negara-negara maju,
berbagai bentuk formulir persetujuan tertulis sengaja disediakan di setiap
rumah sakit. Rupanya pengalaman menuntut dan digugat menjadikan mereka lebih
berhati-hati. Pada prinsipnya formulir yang disediakan tersebut memuat
pengakuan bahwa yang bersangkutan telah diberi informasi serta telah memahami
sepenuhnya dan selanjutnya menyetujui tindakan medis yang disarankan dokter.
Jadi, pada
hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari
segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diijinkan
oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap
kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif.
Yang tidak boleh
dilupakan adalah dalam memberikan informasi tidak boleh bersifat
memperdaya, menekan atau menciptakan ketakutan sebab ketiga hal itu akan
membuat persetujuan yang diberikan menjadi cacat hukum. Sudah seharusnya
informasi diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis tertentu,
sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai kondisi pasien dan segala
seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan. Memang dapat didelegasikan
kepada dokter lain atau perawat, namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan
informasi maka yang harus bertanggung jawab atas kesalahan itu adalah dokter
yang melakukan tindakan medis. Lagi pula dalam proses mendapatkan persetujuan
pasien, tidak menutup kemungkinan terjadi diskusi sehingga memerlukan pemahaman
yang memadai dari pihak yang memberikan informasi.
Ada sebagian dokter
menganggap bahwainformed consent merupakan sarana yang dapat membebaskan
mereka dari tanggung jawab hukum jika terjadi malpraktek. Anggapan seperti ini
keliru besar dan menyesatkan mengingat malpraktek adalah masalah lain yang erat
kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan
standar. Meskipun sudah mengantongi informed consent tetapi jika
pelaksanaannya tidak sesuai standar maka dokter tetap harus bertanggung jawab
atas kerugian yang terjadi.
Dari sudut hukum
pidana informed consentharus dipenuhi hal ini berkait dengan adanya Pasal
351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tentang penganiayaan. Suatu pembedahan
yang dilakukan tanpa ijin pasien, dapat disebut sebagai penganiayaan dan dengan
demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (1, 2, 9). Leenen memberikan contoh (sebagaimana dikutip oleh Ameln),
apabila A menusuk / menyayat pisau ke B sehingga timbul luka, maka tindakan
tersebut dapat disebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter,
tindakan tersebut tetap merupakan penganiayaan, kecuali : 1) Orang yang dilukai
(pasien) telah menyetujui. 2) Tindakan medis tersebut (pembedahan yang pada
hakekatnya juga menyayat, menusuk, memotong tubuh pasien) berdasarkan suatu
indikasi medis. 3) Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
2. Peran
Perawat
Menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran
perawat terdiri dari :
a. Sebagai
pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat
dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang
dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
b. Sebagai advokat
klien
Peran ini dilakukan
perawat dalam membantu klien & kelg dalam menginterpretasikan berbagai
informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan persetujuan atas
tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam mempertahankan &
melindungi hak-hak pasien meliputi :
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
- Hak atas informasi tentang penyakitnya
- Hak atas privacy
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Sebagai educator
Peran ini dilakukan
dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala
penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku
dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
d. Sebagai
koordinator
Peran ini dilaksanakan
dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari
tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai
dengan kebutuhan klien.
e. Sebagai
kolaborator
Peran ini dilakukan
karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter,
fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan.
f. Sebagai
konsultan
Perawat berperan
sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan
yang sistematis & terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan
keperawatan
g. Sebagai
pembaharu
Perawat mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis & terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dokter dan perawat merupakan seseorang yang telah lulus dari pendidikan
kesehatan, sehingga mereka ditugaskan untuk mentransfer pengetahuannya kepada
masyarakat dan mengaplikasikannya di lingkungan sekitarnya. Mereka sangat
berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia terutama dalam
pemberantasan sebuah penyakit. Dokter berperan penting dalam mencarikan solusi
bagi setiap permasalahan penyakit.
Kesadaran masyarakat akan peranan dokter dan perawat pun sangat
mempengaruhi kesuksesan terbentuknya daerah yang steril dari penyakit. Baik
penyakit menular atau pun penyakit tidak menular, masing-masing sangat
berpotensi tumbuh dan berkembang di setiap daerah. Sikap masyarakat terhadap
keadaan lingkungannya sendiri kebanyakan yang menjadi faktor utama
terjangkitnya penyakit di daerah mereka sendiri, tetapi beruntunglah sudah di
hampir tiap daerah tersedia dokter dan perawat yang bertugas memberikan edukasi
kesehatan pada masyarakat dan bekerja sama dengan masyarakat untuk sama-sama
mensukseskan terbentuknya daerah yang memiliki derajat kesehatan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://syehaceh.wordpress.com/2008/06/18/hak-pasien-dan-perawat/
CONTOH
KASUS
Contoh kasus Dokter :
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiF6tT26IHMAhXTH44KHQ13ABIQFggqMAI&url=http%3A%2F%2Fdownload.portalgaruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3D187887%26val%3D6466%26title%3DTANGGUNG%2520GUGAT%2520DOKTER%2520ATAS%2520KESALAHAN%2520DIAGNOSIS%2520PADA%2520PELAYANAN%2520MEDIS%2520DI%2520RUMAH%2520SAKIT%2520(Studi%2520kasus%2520di%2520RSD.%2520Dr.%2520Soebandi%2520Jember)&usg=AFQjCNGc7eUE5aiF7veWvo6-KaZYWnbIvA&sig2=X17MVKLscRTau3uR5Hgsvw&bvm=bv.119028448,d.c2E
Contoh kasus Perawat :
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiQtOb16YHMAhUDto4KHZaGAUIQFgg0MAQ&url=http%3A%2F%2Fdigilib.stikeskusumahusada.ac.id%2Fdownload.php%3Fid%3D1327&usg=AFQjCNHl7UbhL2usjaZCKlNQfM34V2WZZg&sig2=K37khfVtmynp3Z9UrHHrcA&bvm=bv.119028448,d.c2E